Saturday, March 29, 2014

mabit






Saturday, February 22, 2014

gallery















Wednesday, December 18, 2013

Memeluk Ibunda


[sumber foto: abamjiwa]
“Doa dari segerombolan manusia hanya menunggu waktu akan terkabul, tidak ada pilihan. Hanya masalah waktu. Ketika gumpalan doa itu terbang melewati lapisan langit dan sampai di hadapan malaikat penjaga gerbang Arsy-Nya, maka tidak ada pilihan lain selain membuka gerbang tersebut dan membawa kepada Sang Maha Mengabulkan”

Beberapa hari terakhir ini, saya seringkali membahas tentang birul walidain ketika mengisi mentoring di beberapa kelompok binaan saya. tapi entah kenapa, ketika saya ingin membahasakannya, setiap kali itu pula saya tergugu tanpa mampu menyampaikannya secara lugas. Pada hakikatnya, pembahasan tentang birul walidain seharusnya berisi pembahasan tentang bagaimana kita memandang setiap pengorbanan ayah ibunda kita, dengan implementasi balasan yang dapat kita aplikasikan dalam keseharian kita. Tentu saja pembahasannya jadi berangkat dari ulasan tentang pengorbanan ayah dan ibunda kita.

Yang menjadi menarik adalah, beberapa kali saya membahas tentang bakti kepada orangtua, akan tetapi saya seringkali tenggelam cukup lama pada pembahasan pengorbanan seorang ibunda. Saya selalu sangat tertarik dan antusias membahasnya, dan seringkali lupa tema pembahasannya adalah tentang birul walidain, bukan tentang ibu. Saya selalu tenggelam dengan pembahasan step by step pengorbanan yang ibunda kita terkasih lakukan, mulai dari menggendong kita dengan rahimnya yang mulai, hingga menyuapi kita dengan tangganya yang santun. Berhenti sampai disana? Tidak. Maka begitulah saya senantiasa larut dalam pembahasan panjang tentang ibunda.

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Luqman 14)

Pengorbanan seorang wanita terkasih bernama ibunda itu bahkan lebih luas dari bentangan samudera, dan jauh lebih dalam dari palungnya yang terdalam. Ketika kita mendekat untuk menyelami pengorbanannya, mengandung dalam keadaan lemah yang terus bertambah, maka kita akan tenggelam pada cinta yang mendalam, menyesak dada dan mendesak pelupuk membulirkan hangat yang mengalir membasahi pipi kita. Seraya kita bergumam “ah masih durhaka sekali rasanya diri ini”.

Maka wajar jika kita menemukan perumpamaan bahwa dengan menggendong ibunda kita menuju tanah suci untuk berhaji dan lalu menggendongnya kembali ke rumah kita itu tidak membalas seujung kuku-pun pengorbanan yang ibunda kita lakukan. Tidak akan pernah seujung kuku-pun sahabatku. Maka berbakti kepada orang tua kini wajar adanya, bukanlah sebuah kelebihan. Tapi justru kerugian jika kita tidak berbakti kepada keduanya, terutama ibunda kita. Apalagi menjadi durhaka durjana, Naudzubillahi min dzalik.

Tentu lekat teringat dalam benak kita tentang syurga yang letaknya di bawah kedua kaki ibunda kita,

Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: “Apakah engkau masih mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.”

Dan tentu kita juga tak pernah menampik betapa memang syurga itu terasa begitu nyata terbentang di hadapan kita ketika kita menghabiskan tiap jenak waktu bersama ibunda tercinta. Tentu, semudera kebaikan dan senyum ketulusan itu laiknya sepenggal firdaus yang melayang mendekat menuju bumi, lalu memenuhi selaksa kehidupan kita. Menyapa kita dengan uang recehnya ketika kita hendak berangkat riang menuju bangku SD, lalu menyapa kita dengan air hangatnya ketika membangunkan kita untuk berwudhu sembahyang shubuh, jua menyapa kita dengan segerombol doanya yang bersahutan ketika kita menghubunginya dari kejauhan. 

Mungkin jika kita pernah tahu bahwa untuk mencatat nikmat Allah yang dikaruniakan kepada kita, tidak akan cukup dengan semua kayu menjadi kertas dan semua laut menjadi tinta, dan meskipun ditambah dan ditambah. Maka kita sebenarnya telah tahu bahwa setumpuk nikmat yang menggunung bercahaya yang tak akan habis kita catat itu adalah salah satu karunia terbesar yang Allah berikan kepada kita, yaitu IBU.

Maka sekali lagi wajar jika Sang Maha Cinta yang menggenggam segenap yang berderik di langit dan bumi mem-Firman-kan kepada kita sebuah ayat suci ajaib yang senantiasa mampu menohok kesadaran kita bahwa nilai pengorbanan seorang ibu tak akan pernah terukur, dan tak kan pernah kita berani mengundang kerut di wajahnya, bahkan dengan dua huruf bantahan paling simpel sekalipun, “Ah”

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (Al Israa’ 24)

Lalu Allah melanjutkan dengan kemuliaan yang sepatutnya kita haturkan bagi keduanya, yaitu dengan bertutur lembut kemudian menghaturkan doa tentang keduanya, doa pamungkas yang tentu sudah kita hafal semenjak belia, keharibaan Ilahi Rabbi, senantiasa, kemudian senantiasa.

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (Al Israa’ 25)

Saya seringkali menyesapi doa ini, doa pamungkas yang sebenarnya begitu romantis, menghadirkan kembali memoar masa kecil kita setiap kali kita mengucapkannya dengan kesungguhan. Gulungan memori yang mungkin saja kita lupa karena kepenatan aktivitas kita. Allah sedang mengajarkan kita bagaimana konsep bersyukur yang sistemik kepada kedua orangtua kita melalui doa ini. Dengan doa ini, kita mengingat betapa kasihnya ayah ibunda kita, jua di waktu yang sama memohonkan kasih sayang Allah teruntuk keduanya. Dan setiap kali doa ini menggerakkan bibir kita dengan kesadaran yang bersembilu rindu, air mata tidak akan bisa kita bendung dan membawa kita pada doa-doa yang lain, doa tiada henti atas kompensasi kedurhakaan kita kepada ibunda.

Maka Allah melalui Al-Qur-annya yang kariim memerintahkan kepada kita berbuat baik kepada ayah ibunda kita, kemudian mengajarkan kita sebuah doa yang seringkali lupa kita haturkan selepas lima kali fardhu kita.

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”(Al-Ahqaaf 15)

Sehingga saya senantiasa belajar bagaimana memeluk ibunda dengan setiap bait doa yang saya haturkan selepas fardhu, semoga ananda yang begitu akrab dengan kedurhakaan ini mampu menjadi anak yang sholeh, dan menjadi hulu bagi doa-doa keharibaan Allah yang akan berhilir bagi ibunda, begitu jua ayahanda.

Sekali lagi, bagi saya dan jua jutaan bahkan milyaran anak lelaki di hamparan bumi ini, cinta pertama kita adalah ibunda kita. Bahkan ketulusan cinta ini begitu mendalam, melebihi cinta milik anak muda yang baru berbuah ketika pandangan pertama, cinta kita lahir bahkan ketika kita belum bisa melihat, belum mampu menerjemah kata. Inilah cinta sejati yang sebenarnya, tulus hingga tak perlu alasan, cinta yang hanya dimengerti keduanya. Maka jangan heran jika banyak anak lelaki akan mendamba wanita seperti ibundanya tercinta.

Continued..
Padang Bulan, 19 Desember 2013
Powered by Blogger.